“Dan seandainya pohon-pohon di
bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh
laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS Luqman : 27)
Ikhwah Fillah,
Imam As-Syafi’i
menyampaikan nasihat kepada muridnya. “Akhi, kalian tidak akan pernah
mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara ini, akan aku kabarkan
kepadamu secara terperinci yaitu dzakaa-un (kecerdasan), hirsun (semangat), ijtihaadun (cita-cita yang tinggi), bulghatun (bekal), mulazamatul ustadzi (duduk dalam majelis bersama ustadz), tuuluzzamani (waktu yang panjang).”
Berikut keterangan masing-masing:
- Dzakaa-un (kecerdasan). Ulama membagi kecerdasan menjadi dua yaitu : yang pertama, muhibatun minallah (kecerdasan yang diberikan oleh Allah). Seseorang meskipun dalam majelis tidak mencatat tetapi dia bisa mengingat dan menghafalnya dengan baik dan bisa menyampaikan kepada orang lain dengan baik. Jenis kecerdasan ini harus diasah agar dapat bermanfaat lebih banyak untuk dirinya dan orang lain. Yang kedua adalah kecerdasan yang didapat dengan usaha (muktasab) misalnya dengan cara mencatat, mengulang materi yang diajarkan, berdiskusi dan lain – lain.
- Hirsun yaitu perhatian dan semangat dengan apa yang disampaikan gurunya. Sekaligus berupaya mengulang pelajarannya.
- Ijtihaadun. Ulama menafsirkan ijtihaadun adalah al himmatul ‘aliyah yaitu semangat atau cita-cita yang tinggi. Seseorang hendaknya memaksa diri untuk mencari ilmu dengan semangat mewujudkan cita-cita demi agamanya.
- Bulghatun / dzat / bekal. Dalam menuntut ilmu tentu butuh bekal, tidak mungkin menuntut ilmu tanpa bekal. Contoh para imam, Imam Malik menjual salah satu kayu penopang atap rumahnya untuk menuntut ilmu. Imam Ahmad melakukan perjalanan jauh ke berbagai negara untuk mencari ilmu. Beliau janji kepada Imam Syafi’i untuk bertemu di Mesir akan tetapi beliau tidak bisa ke Mesir karena tidak ada bekal. Seseorang untuk mendapat ilmu harus berkorban waktu, harta bahkan terkadang nyawa.
- Mulazamatul ustadzi. Seseorang harus duduk dalam majelis ilmu bersama ustadz. Tidak menjadikan buku sebagai satu-satunya guru. Dalam mempelajari sebuah buku kita membutuhkan bimbingan guru. Hendaknya menggabungkan antara bermajelis ilmu dengan guru, juga banyak membaca buku.
- Tuuluz-zamani, dalam menuntut ilmu butuh waktu yang lama. Tidak mungkin didapatkan seorang da’i / ulama hanya karena daurah beberapa bulan saja. Al-Baihaqi berkata : ”Ilmu tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan kita meluangkan waktu”Al Qadhi iyadh ditanya : sampai kapan seseorang harus menuntut ilmu? Beliau menjawab: ”Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.”
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS Al Mujadalah : 11)
“Sesungguhnya keutaman
orang yang berilmu diatas orang yang beribadah bagaikan pancaran sinar
bulan purnama di atas pancaran sinar bintang-bintang” (HR Ahmad)
“Barangsiapa
yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan
meletakkan sayap-sayapnya kepada para penuntut ilmu sebagai bentuk ridho
atas yang telah dilakukan dan seluruh apa yang ada di langit dan di
bumi akan memintakan ampunan kepada seorang penuntut ilmu, begitu juga
ikan yang ada di tengah-tengah laut”
(HR Ahmad)
Source: https://adefahrizal24.wordpress.com/2014/04/21/kiat-kiat-menuntut-ilmu-dari-imam-syafii/
0 comments:
Post a Comment
Jangan melakukan SPAM dan berkomenlah dengan tata cara yang baik. Matur tampi asih.